Jurnalis vs Wali Kota Medan, Pemahamanku Tentang Wawancara Door Stop (3-habis)

AKU mewawancarai Djohar Arifin Husin tahun 2004 lalu secara door stop di Gelanggang Remaja Medan. Saat itu Djohar menjabat sebagai Ketua Pengda PSSI Sumut. (FOTO: DOK PRIBADI)

POSTINGAN video Kerangka Acuan Kerja (KAK) Door Stop Wartawan di Kantor Wali Kota yang diposting di akun IG “humaspemkomedan” hari Selasa (20/4/2021) malam, dan dihapus hari Rabu (21/4/2021) masih terus memancing polemik. Di berbagai media massa seperti Facebook dan Instagram (IG), sejumlah netizen masih banyak yang mengecam postingan video tersebut. Mayoritas dari netizen menyebut, kalau pihak “humaspemkomedan” telah keliru memaknai arti dari wawancara doors stop.

Nah, bagaimanakah sebenarnya teknis dari wawancara door stop tersebut? Sebagai jurnalis yang sudah berkarir selama 18 tahun, aku sangat “terusik” untuk ikut campur dalam permasalahan ini. Pengalamanku sebagai jurnalis selama ini yang banyak melakukan wawancara door stop perlu aku tulis dan bagikan melalui blog ini.

Nah, sebelum sampai ke penjelasan lebih lanjut tentang wawancara door stop, maka aku sampaikan lagi isi video tersebut. Secara sederhana, video tersebut berisikan tutorial tata cara melakukan wawancara door stop dengan Wali Kota Medan, Bobby Nasution. Bagi jurnalis yang ingin melakukan wawancara door stop, datanglah ke Balai Kota Medan selambat-lambatnya pukul 08.00 WIB. Setiba di Balai Kota, serahkan bukti diri dan menunggu di ruangan tunggu. Wawancara pun hanya boleh dilakukan maksimal 20 menit. Wawancara tidak boleh lewat pukul 09.00 WIB dan wawancara hanya boleh dilakukan di jam kerja: Senin-Jumat. Tutorial yang sangat sederhana.

Benarkah teknis wawancara door stop sesederhana yang disampaikan dalam video tim “humaspemkomedan”. Sebelum sampai ke sana, aku perlu memberikan penjelasan tentang wawancara, model wawancara, jenis wawancara, dan teknis wawancara door stop.

Apa itu wawancara? Ada banyak pengertian tentang wawancara. Satu diantaranya aku kutip dari https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/wawancara (diakses pada 24 April 2021), wawancara merupakan: (1) tanya jawab dengan seseorang (pejabat dan sebagainya) yang diperlukan untuk dimintai keterangan atau pendapatnya mengenai suatu hal, untuk dimuat dalam surat kabar, disiarkan melalui radio, atau ditayangkan pada layar televisi, (2) tanya jawab direksi (kepala personalia, kepala humas) perusahaan dengan pelamar pekerjaan, dan (3) tanya jawab peneliti dengan narasumber.

Berangkat dari pengertian tersebut, secara sederhana, aku memaknai wawancara sebagai sebuah proses kegiatan tanya jawab yang dilakukan seseorang dengan narasumber atau orang yang diwawancarai. Jika dikaitkan dengan kerja-kerja jurnalistik, maka wawancara jurnalistik adalah proses kegiatan tanya jawab yang dilakukan seorang atau sejumlah jurnalis untuk mendapatkan informasi dari narasumber atau sejumlah narasumber dan dimuat di media sebagai konfirmasi atas isu yang sedang berkembang.

Ada dua model wawancara yang umum digunakan yakni wawancara langsung dan wawancara tidak langsung, Wawancara langsung dilakukan dengan bertatap muka dimana jurnalis (pewawancara) bertemu dengan narasumber, Sedangkan wawancara tidak langsung adalah kebalikannya. Pewawancara (jurnalis) tidak bertemu dengan narasumber. Biasanya wawancara dilakukan melalui telepon, chat SMS/WA dan email (wawancara tertulis).

Dikutip dari https://www.kompasiana.com/www.vefisaefullah.com/5528db7bf17e61590d8b4681/teknik-wawancara-jurnalistik (diakses pada 24 April 2021), dalam literatur jurnalistik dikenal tujuh jenis wawancara yakni: wawancara berita (news-peg interview), wawancara pribadi (personal interview), wawancara eksklusif (exclusive interview), wawancara sambil lalu (casual interview), wawancara jalanan (man-in-the street interview), wawancara tertulis, dan wawancara  “cegat pintu” (door stop interview).

Dari tujuh jenis wawancara jurnalistik ini, tulisan ini hanya fokus kepada wawancara door stop (cegat pintu). Dalam pengertian yang sederhana, saya memahami wawancara door stop sebagai sebuah wawancara informasl yang dilakukan jurnalis secara mendadak dengan mencegat narasumber di ruang kerja  ataupun di luar ruang kerja.

Selama 18 tahun menjalani profesi sebagai jurnalis, aku memahami wawancara door stop sebagai langkah terakhir yang ditempuh jurnalis untuk mendapatkan konfirmasi dari narasumber yang sibuk, terutama ketika narasumber tidak dapat dihubungi melalui sambungan telepon atau tidak membalas pesan yang dikirim lewat SMS atau WA.

Sesuai dengan namanya wawancara doors stop  (cegat pintu), maka teknis wawancara ini adalah dengan menunggu si narasumber keluar dari ruang kerjanya. Jurnalis menunggu di depan pintu. Meskipun ada kata pintu, tidak berarti juga si narasumber hanya dicegat di depan pintu. Di tempat lain juga boleh seperti di teras kantor, di tempat parkir, atau pun di luar kantor. Ketika sudah dicegat, maka jurnalis pun mewawancarai si narasumber.

Ilustrasinya seperti ini, jika sering melihat siaran berita di televisi, ada seseorang yang begitu keluar dari ruangannya langsung dikelilingi (didatangi) satu atau sejumlah jurnalis dan menanyakan beberapa hal, maka seperti itulah teknis wawancara door stop. Wawancara door stop biasanya dilakukan kepada narasumber-narasumber yang berporfesi sebagai pejabat negara (presiden, gubernur, wali kota, bupati, anggota DPR), terpidana korupsi, artis, olahragawan dan lain-lain.

Mengingat narasumber yang diwawancarai dalam wawancara door stop merupakan sosok yang sibuk dan waktunya terbatas, maka jurnalis berlomba-lomba mengajukan pertanyaan terbaik. Makna lainnya adalah, karena waktunya terbatas, maka jurnalis harus segera mencegat narasumber ketika sudah keluar ruangan atau muncul di depan publik.

Meskipun terkesan mendadak, maka bukan berarti persiapan jurnalis juga mendadak saat melakukan wawancara door stop. Biasanya, jurnalis sudah menyiapkan isu/bahan yang akan ditanyakan saat bertemu narasumber. Sebaliknya, narasumberlah yang menganggap wawancara ini sebagai hal yang mendadak, karena sebelumnya dia tak mempunyai persiapan apa pun untuk menjawab pertanyaan jurnalis.

Hal ini yang membuat banyak pejabat (eksekutif) yang tidak menyukai wawancara door stop. Ada beberapa alasan. Pertama, narasumber tidak menguasai bahan, sehingga khawatir informasi yang disampaikan kepada jurnalis tidak sesuai dengan visi misi pribadi maupun instansinya. Kedua, narasumber tidak berani bertemu dengan jurnalis, kecuali didampingi oleh asisten atau sekretaris pribadinya untuk membantu menjawab pertanyaan jurnalis, dan ketiga, narasumber tidak ingin bertemu banyak jurnalis, melainkan hanya mau meladeni wawancara dari jurnalis tertentu saja.

Terkait alasan ketiga, hal ini menjadi sebuah tantangan bagi narasumber, apakah hanya ingin berbagai informasi dengan jurnalis tertentu saja? Tidak masalah, tetapi bersiaplah jika jurnalis yang “terbuang” karena tidak diterima melakukan wawancara akan membuat “masalah”.

Berangkat dari pemahamanku tentang wawancara door stop dan setelah membandingkannya dengan tutorial yang disampaikan di video, maka aku memberikan kesimpulan, bahwa tim “humaspemkomedan” sudah salah memaknai teknis pelaksanaan wawancara door stop. Wawancara door stop dilakukan dengan mendadak (tanpa membuat janji sebelumnya), bukan sebaliknya harus membuat janji terlebih dahulu seperti yang disyaratkan tim “humaspemkomedan”.

Lantas, apa tindak lanjut dari kesalahan ini? Tim “humaspemkomedan” sudah berada dalam posisi yang benar ketika memutuskan untuk menghapus video tersebut dari akun IG. Tetapi, perbaikan kesalahan tak cukup dilakukan hanya sebatas menghapus video.

Wali Kota Medan, Bobby Nasution dan tim “humaspemkomedan” harus memahami teknis wawancara door stop seuutuhnya. Sebagai pejabat publik yang dibiayai dari rakyat (APBD) , maka Bobby Nasution mau tidak mau harus bersedia diwawancara oleh jurnalis baik secara door stop ataupun bukan. Jurnalis adalah perpanjangan tangan rakyat untuk menyampaikan informasi yang dibutuhkan publik. Ketika pejabat publik tidak bersedia diwawancara, lalu informasi apa yang akan diterima dan dibaca rakyat? Ingat, rakyat berhak untuk mendapatkan apa pun informasi dari pejabat ataupun lembaga publik, karena hal itu sejatinya sudah diatur dalam Undang-undang.(*)

Tinggalkan komentar